Sabtu, 21 April 2012

Hari Kartini

Aku terkena penyakit sibuk. Penyakit sibuk mendera ketika kita sedang banyak kerjaan, dikejar deadline misalnya, tapi kita malahan begitu ingin mengerjakan pekerjaan lainnya. Ingat salah satu episode dari filem kartun Spongebob yang dia begitu ingn mengerjakan pekerjaan lain di saat dia harus mengerjakan PR dari Ny. Puff guru setirnya? Ya semodel begitulah.

Dikejar deadline belakangan ini, aku malah: mengerjakan origami, merajut, mendownload lagu2 nostalgia semasa SMP-SPG-kuliah, memberikan les tambahan pelajaran pada muridku, mendengarkan lagu lama dan menuliskan syairnya, begitu lah.. Oh ya dan satu lagi, aku membuka blog ku ini yang sudah tahunan tidak kubuka dan malah membereskannya. Here I am now :D
Kebiasaan buruk? Yah mungkin saja, tapi kalau sudah dibahas oleh Spongebob kelihatannya aku tidak sendirian menghadapi gejala ini.

Seharian ini aku memikirkan Ibu Kartini. Raden Ajeng Kartini
lahir di Mayong, Jepara tanggal 21 April 1879 adalah anak bangsawan. Itu saja begitu banyak hambatan yang Beliau terima sebagai anak perempuan dari kaum bangsawan. Apalagi kita-kita ini, kaum rakyat jelata.Perjuangan Ibu Kartini dalam memajukan kaum wanita. Rasanya aku ingin menangis karena terharu.
Aku membayangkan kalau Kartini belum ada, atau Kartini lain tidak ada, kehidupanku akan seperti apa. Aku akan menikah pada usia muda, dijodohkan tentunya. Aku akan sibuk menjadi ibu rumah tangga, mengurus anak, suami datang dan pergi lagi, aku tetap mengurus anak. Pekerjaan mulia memang, mulia sekali, tapi kalau hanya itu, ngeri membayangkannya. Lalu anak perempuanku juga akan menikah muda, dan dalam usia muda aku akan menjadi nenek? Whew! Tugas mengasuh berlanjut menjadi tugas mengasuh cucu. Seram ya. Masalahnya kerjaan kita hanya itu saja, sementara di dalam diri setiap perempuan terdapat potensi lain yang bisa dimanfaatkan lebih dari sekedar mengasuh anak.

Kupikir perjuangan Ibu Kartini adalah terobosan. Beliau mendidik anak tetangganya untuk bisa menjahit, memasak, membaca dan menulis. Tujuannya supaya perempuan bisa menjadi ibu yang lebih berkualitas bagi anaknya. Bisa menjahitkan baju untuk anaknya, memasakkan makanan yang begizi, membacakan cerita, mengajarkan menulis awal bagi anaknya. Coba kalau aku lahir sebagai rakyat jelata tanpa kehadiran seorang Kartini, aku akan menjadi ibu yang buta huruf, tidak bisa menjahit dll, mengerikan ya. Tukang jahit dan konpeksi belum musim seperti sekarang kan?

Kupikir juga perjuangan Ibu Kartini bisa berhasil karena ridho dari suaminya juga. Kalau suaminya melarangnya ini itu, dia bisa apa? Memang dibalik prestasi seorang wanita dibutuhkan juga kebesaran hati seorang suami. Suami harus rela melemahkan dirinya sedikit, agar wanita tampak lebih kuat. Kalau semua suami bersikap sok powerful, sok kuasa, mengganggap wanita lemah, wanita akan lemah pula. Mendapati beberapa peristiwa suami melarang istrinya bekerja, mengerjakan pekerjaan luar rumah, tahu-tahu suaminya tidak panjang umur. Kemudian sang istri harus bontang banting memenuhi kebutuhan keluarga, kasihan juga. Ada lagi yang rumah tangganya berujung perceraian, wah perempuan dilemahkan lahir batin kalau begini, bukan.
Makanya lihat saja, potensi seorang perempuan akan keluar semua tatkala dia ditinggal suaminya. Ujug2 seorang perempuan bisa jadi penjahit, manajer, desainer, guru PAUD dll justru sepeninggal suaminya.

Tapi jangan juga kekuatan isteri terlalu besar jadi suaminya takut pada istrinya, atau bersembunyi di balik kelek istrinya. Semua sama Ibu tidak bisa dibenarkan juga. Urusan rumah tangga, membetulkan rumah, urusan anak, urusan cari nafkah, sementara sang suami enak-enakan terima jadi. Sebal juga nontonnya. Apalagi ditambah sang suami selingkuh. Pekerjaan orang kurang kerjaan ya. Memanfaatkan kekusasaan dengan sewenang-wenang menjajah istrinya. Naudzubillah...

Kalau katanya wanita diambil dari tulang rusuk pria, supaya sejajar memang benar. Perempuan harus diberdayakan supaya dia bisa berdaya, keluar semua potensinya tanpa meninggalkan kodratnya sebagai perempuan, sebagai ibu dari anak-anaknya. Dan itu membutuhkan kebesaran hati suaminya.

Aku bersyukur lahir jauh setelah perjuangan Ibu Kartini. Meskipun dari keluarga sederhana, rakyat jelata, aku bisa sekolah, memilih suami yang kucintai dan mencintaiku, aku bisa jadi guru sesuai cita-citaku saat masih kecil. Dan atas izin suamiku aku bisa kuliah meski setelah punya anak, yang kemudian perjalanan hidup membawaku menjadi seorang guru yang PNS, alhamdulillah...

Kira-kira kenapa ya Ibu Kartini harus meninggal dalam usia semuda itu? Selain takdir tentunya. Apakah beliau terlalu lelah? Terlalu banyak aktifitas saat hamil? Jarang periksa ke bidan? Tapi satu hal aku merasa Allah Swt begitu menyayangi beliau sehingga memanggilnya saat melahirkan. Bisa saja (insya Allah) beliau wafat dalam keadaan mati syahid kan? Alfatihah...

Hayu ah kita sibuk lagi... ^_^

Tidak ada komentar: